Cara Pemberian Obat

CARA PEMBERIAN OBAT
a. Cara pemberian obat per oral :

Cara ini paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Namun untuk obat yang diberikan melalui oral, ada tiga faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas :
1. Faktor obatnya sendiri (larut dalam lipid, air atau keduanya)
2. Faktor penderita ( keadaan patologik organ-organ pencernaan dan metabolisme )
3. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna. ( interksi dengan makanan )
( dapat dilihat dalam Tabel 1-1 halaman 4 , Ganiswara S.G . Farmakologi dan Terapi`)-
à sebagai tugas mandiri.

b. Cara pemberian obat melalui suntikan :
Keuntungan pemberian obat secara parenteral dibandingkan per oral, yaitu :
1. Efeknya timbul lebih cepat dan teratur
2. Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah
3. Sangat berguna dalam keadaan darurat

Kelemahan cara pemberian obat melalui suntikan :
1. Dibutuhkan cara aseptis
2. Menyebabkan rasa nyeri
3. Kemungkinan terjadi penularan penyakit lewat suntikan
4. Tidak bisa dilakukan sendiri oleh penderita
5. Tidak ekonomis

c. Pemberian Obat Melalui Paru-paru :

Cara ini disebut cara inhalasi, hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap, misalnya anestetik umum dan obat dalam bentuk aerosol. Absorpsi melalui epitel paru dan mukosa saluran napas

Keuntungan :
1. Absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas
2. Terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati
3. Obat dapat diberikan langsung pada bronchus ( untuk asma bronchial )

Kelemahan :
1. Diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit ( obat semprot untuk asma)
2. Sukar mengukur dosis (karena ukurannya: berapa kali semprotan sekali pakai)
3. Obatnya sering mengiritasi epitel paru

d. Pemberian Topikal
Pada kulit : Jumlah obat yang diserap tergantung : - (1) pada luas permukaan kulit yang terpejan; - (2) kelarutan obat dalam lemak; -( 3 ) dapat ditingkatkan absorpsinya dengan membuat suspensi obat dalam lemak.

DISTRIBUSI
Distribusi obat terjadi melalui dua fase berdasarkan penyebarannya. Yaitu :
1. Distribusi fase pertama : yaitu ke organ-organ yang perfusinya sangat baik ( jantung, hati, ginjal dan otak ), terjadi segera setelah penyerapan, selanjutnya
2. Distribusi fase kedua : yaitu ke organ-organ yang perfusinya tidak begitu baik ( otot, visera, kulit, dan jaringan lemak ).
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membrane sel dan terdistribusi ke dalam sel, obat yang tidak larut dalam lemak sulit menembus membrane sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi terbatasi oleh ikatan obat pada protein plasma. dan hanya obat bebas yang dapat berdifusi kedalam sel dan mencapai keseimbangan;
Obat dapat terakumulasi di dalam sel jaringan karena ditransport secara aktif atau lebih sering karena berikatan dengan konponen intrasel ( protein, fosfolipid, atau nukleoprotein )

Distribusi obat ke SSP sulit terjadi, karena obat harus menembus sawar khusus yaitu sawar darah –otak . Endotel kapiler otak tidak mempunyai ruang antar sel maupun vesikel pinositosik, karena itu kemampuan obat untuk menembus sawar darah-otak hanya ditentukan oleh dan sebanding dengan kelarutan bentuk non ion dalam lemak.

Obat yang seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya ammonium kuaterner atau penisilin, dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke otak dari darah.

Semua obat yang diterima oleh ibu hamil akan masuk ke sirkulasi janin melalui sawar uri yang memisahkan darah ibu dan darah janin, yang tidak berbeda dengan sawar saluran cerna
BIOTRANSFORMASI

Biotransformasi atau metabolisme obat, adalah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.

Pada proses biotransformasi :
(1) molekul obat diubah menjadi lebih polar sehingga mudah diekskresi melalui ginjal
(2) pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga proses biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat
(3) ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif atau lebih toksik
(4) ada obat yang merupakan calon obat ( pro drug ) yang baru aktif setelah mengalami biotransformasi oleh enzim tertentu menjadi metabolt aktif yang selanjutnya akan mengalami biotransformasi lebih lanjut atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir

Reaksi-reaksi biotransformasi yang terjadi dapat dibedakan atas :
(1) reaksi fase I dan ; (2) reaksi fase II
Reaksi fase I ialah : oksidasi, reduksi dan hidrolisis, yang mengubah obat menjadi metabolit lebih polar yang bersifat inaktif, kurang atau lebih aktif dari bentuk aslinya.

Reaksi fase II ( disebut reaksi sintetik ) : merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat, sulfat asetat atau asam amino. Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi.

Kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa macam reaksi sekaligus atau secara berurutaan menjadi beberapa macam metabolit, tetapi ada obat yang hanya mengalami reaksi fase I atau Fase II saja.

Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya didalam sel, yaitu : (1) enzim mikrosom ( dalam reticulum endoplasma ) yang mengkatalisis reaksi konjugasi glukuronat, sebagian besar reaksi oksidasi obat, reaksi reduksi dan hidrolisis; (2) enzim nonmikrosom , yang mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya ( dengan asetat, sulfat, asam fosfat, gugus metal, glutation atau asam amino ), dan beberapa reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.

Sebagian besar biotransformasi obat, asam-asam lemak, hormon-hormon steroid dikatalisis oleh enzim mikrosom hati. Untuk itu obat harus larut dalam lemak agar dapat melintasi membrane sel masuk kedalam reticulum endoplasma dan berikatan dengan enzim mikrosom hati.

Aktivitas enzim mikrosom maupun nonmikroson ditentukan oleh faktor genetik, sehingga kecepatan metabolisme obat antar individu bervariasi.

Metabolisme obat di hati terganggu bila terjadi kerusakaan parenkhim hati misalnya oleh adanya zat hepatotoksik atau sirosis hepatis. Dalam hal ini, dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolisme di hati harus disesuaikan atau dosisnya dikurangi. Misalnya :Gangguan kardiovaskuler dan latihan fisik berat akan mengurangi metabolisme obat tertentu di hati.

Pada bayi, terutama bayi prematur, aktivitas enzim metabolismenya ( mikrosom maupun nonmikrosom ) masih rendah, fungsi ekskresi dan sawar darah-otak masih belum sempurna, maka sangat peka terhadap efek toksik obat.


EKSKRESI
Obat dkeluarkan dari tubuh melalui barbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya.
Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat dari pada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi lewat paru ( tergantung koefisien partisi darah / udara , bila koefisien partisinya kecil, lebih cepat diekskresi)

Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting , ekskresi di ginjal merupakan proses filtrasi glomerulus. Glomerulus merupakan jaringan kapiler yang dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antarsel endotelnya. Semua obat yang tidak terikat oleh protein plasma mengalami fitrasi di glomerulus.
. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal, sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang

Ekskresi melalui empedu : Obat dengan BM lebih kecil dari 150 dan obat yang telah dimetabolisme menjadi obat yang lebih polar, dapat diekskresikan dari hati lewat empedu menuju ke usus dengan mekanisme transport aktif ( dalam bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sufat atau glisin ). Di usus, obat bentuk konjugat dapat langsung diekskresi atau mengalami hidrolisis oleh enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat nopolar sehingga dapat diabsorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati , dimetabolisisr, dikeluarkan kembali melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya sehingga merupakan siklus yang disebut siklus enterohepatik. Siklus enterohepatik menyebabkan kerja obat menjadi lebih panjang.

Ekskresi obat juga bisa melalui keringat, air liur, air mata, air susu, dan rambut tetapi dalam jumlah relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Maka dari itu, air liur digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu; rambut juga dapat digunakan untuk menentukan logam toksik, atau arsen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar